Hijrah si Tomboy


"Hijrah Si Tomboy"


Oleh : Ani Azizah hady

Adalah Faiza, gadis hitam manis dengan postur tubuh tidak terlalu gemuk membuatnya bisa bergerak lincah dengan segala aktivitasnya. Kaos oblong dipadu celana jeans berkerudung segi empat yang ditata unik khas trend 90-an menjadi gaya favoritnya sehari-hari. Mahasiswi tingkat akhir di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta yang sedang sibuk berjuang menyelesaikan Skripsi demi bahagiakan Orangtua meraih gelar Sarjana.
Tujuan sekaligus tuntutan itu membuatnya terpaksa harus sering berkutat dengan bertumpuk buku sebagai bahan inspirasi serta rujukannya merampungkan tugas akhir. Jadwal sidang Skripsi bulan November ini menjadi targetnya, dengan harapan Desember 2003 dia sudah bergelar Sarjana. Karena uang saku yang terbatas, nyaris hanya cukup untuk makan sehari-hari saja, selain dia harus memutar otak mencari tambahan dana dengan berdagang apa saja alias “Palugada”, Faiza juga harus bisa meminimalisir pengeluaran. Dengan uang saku minim otomatis anggaran untuk memiliki buku-buku penunjang tugas akhir pun tidak ada. Hikmahnya dia menjadi lebih sering mengunjungi Perpustakaan Daerah untuk mencari inspirasi dan referensi.

“Gantungan kunci mbak, monggo?”.
“Kaos Dagadu-nya mbak? Murah aja, monggo?”.
“Monggo mbak daster, daster batik, monggo dipilih mbak, lima belas ribu!” riuh suara pedagang kaki lima di sepanjang Malioboro siang itu, terik kian terasa pengap kala suara-suara bising beradu, tawaran pedagang terakhir berdesing nyaring ditelinga Faiza, “idih, emang aku emak-emak disuruh pakai daster?!” gerutunya kesal sambil terus melangkah menuju salah satu bangunan tua sejajar dengan puluhan toko-toko di Malioboro.

Pemandangan yang sangat kontras tapi entah Faiza justru paling suka duduk berjam-jam didalam bangunan itu, Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta khusus buku-buku Sastra. Imaginasi Faiza serasa terpuaskan kala bercengkrama dengan karya-karya sastra dikelilingi buku-buku usang didalam gedung kuno yang terkesan menyeramkan itu. Saat asyik membaca mata Faiza tertegun melihat sosok perempuan kalem, berbaju panjang menjulur dari leher hingga ke bawah mata kaki, ditutup rapi dan manis dengan kerudung panjang dan lebar, Faiza segera mengalihkan pandangan sejurus gadis itu sadar oleh tatapan tajam Faiza.

Menjelang sore Faiza bergegas keluar dari Perpustakaan berlari kecil menuju halte, “ah hampir saja ketinggalan!” gumamnya. Sekali lagi mata Faiza terpana melihat dua gadis anggun yang berdiri didepannya karena sama-sama tidak kebagian tempat duduk. Dua gadis berpakaian persis seperti gadis yang dia lihat di Perpustakaan tadi. Baju longgar panjang menjulur dari leher hingga ke bawah mata kaki, dibalut indah dengan kerudung lebar dan panjang, “ah, kenapa semakin sering melihat orang berpakaian seperti ini? Hidayahkah? Benarkah seperti itu cara menutup aurot yang benar sesuai aturan Islam? Hmm, tapi memang di Kitab Safinatunnajah, aurot perempuan itu adalah seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan mata kaki serta haram menyerupai laki-laki, berarti apakah yang kupakai sekarang melanggar aturan Allah? Tapi ini pakaian yang paling nyaman buatku, gimana nanti komentar teman-teman saat melihat aku berbusana seperti itu? akankah mereka menjauhiku? Masih bolehkah berkawan dengan laki-laki? Kumpul-kumpul dengan mereka? Berboncengan? Bisakah aku jalani hari tanpa kehadiran mereka? Tapi jika selama ini aku melanggar aturan Allah bukankah berarti itu suatu dosa? ah, entahlah..,” batin Faiza berkecamuk dalam tanya.

Selang 15 menit sesampainya ditempat indekost, adik Faiza sudah menunggu duduk dikursi rotan jadul didepan kamarnya. Kamila, gadis berperawakan lebih kecil dibanding Faiza, selepas lulus Sekolah Menengah Atas dia memilih untuk tinggal di Pondok Pesantren demi menghafalkan ayat-ayat Alqur’an. Dengan usia yang hanya terpaut 2 tahun, keakraban mereka berdua lebih mirip persahabatan dibanding kakak adik. Namun penampilan baru adiknya itu membuat Faiza sedikit canggung. “wis suwe?” tanya Faiza sambil membuka gembok pintu kamarnya, mereka berdua memasuki ruangan  berhias foto-foto dan poster salah satu pentolan grup band rock asal New Jersey, Jon Bon Jovi. Faiza duduk sambil memutar kaset album kesayangannya, lagu-lagu Bon Jovi melantun merdu ditelinganya. Sudah bertahun lamanya sejak Faiza SMP berkawan akrab dengannya. Menjadi idola juga sahabat sejati baginya. “lumayan mbak, seko endi?” jawab adik Faiza sekaligus bertanya. Tanya jawab obrolan santai bergulir alami sesekali diselingi canda tawa seperti dua sahabat yang lama tak bertemu.

Tapi sejak adiknya memutuskan berganti penampilan, obrolan mereka selalu berakhir dengan debat dan pertengkaran hingga tak jarang membuat Kamila menangis. Faiza sangat keberatan jika selalu disinggung tentang penampilan favoritnya, kaos oblong dan celana jeans, “ah, mana mungkin aku tinggalkan!” bantah Faiza tegas. “boleh dipakai mbak, tapi tidak untuk keluar rumah”, jawab Kamila pelan. “lha terus keluar rumah suruh pakai baju kedodoran gedubrukan koyo kowe ngono iku? Yo ribet tho, aneh-aneh wae!, sanggah Faiza dengan nada tingi seiring pekik suara Jon Bon Jovi “It’s My Life...!”.

“ya Allah, dalilnya jelas mbak” jawab Kamila tersedu sambil menjelaskan, “di Alqur’an Surat Al Ahzab ayat 59 yang artinya : “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka...”, sedangkan dalil tentang kerudung ada di Surat An Nuur ayat 31 mbak, yang artinya : “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menjulurkan khimar kedadanya..”, kalau tidak percaya dan masih kurang jelas ayo buka Alqur’an mbak” terang Kamila panjang lebar dengan airmata menetes dikedua pipinya. Faiza kalut, namun hanya amarah yang keluar dari mulutnya. Seperti itu berulang-ulang hampir disetiap pertemuan mereka.

Hati Faiza semakin kaku ketika adiknya itu terus menjelaskan kewajiban seorang perempuan muslimah untuk menutup aurot secara sempurna disertai dengan dalil. Jiwa seorang kakak yang notabene lebih tua usianya seakan membenarkan bahwa yang berhak mengajari dan menasehati itu adalah yang lebih tua. Tak jarang Faiza berucap ketus meremehkan Kamila, “alaah kowe cah cilik ngerti opo?! Aku ki yo tau mondok, ojo sok ngandan-ngandani! Lagian, sik mumet mikir skripsi ngene, kowe malah nambahi pikiran!”. Kamila hanya mampu berdoa dalam diam semoga kakaknya itu terbuka hatinya.
Faiza paham betul bahwa ketika yang dijalani tidak sesuai aturan Islam, apalagi yang sudah jelas termaktub dalam Alqur’an, tentu dosa yang didapat. Dibalik bantahan demi bantahan yang dia lontarkan kepada Kamila, dalam hati kecilnya dia kagum dengan sang adik yang dengan gamblang dan bisa diterima akal menjelaskan kewajiban menutup aurot bagi setiap muslimah. Dalam benak dia berdiskusi sendiri memikirkan semua penjelasan adiknya. Tapi baqo’ mengalahkan logika, dia terus bergeming dari aturan syariat.

Pagi 5 November 2003, hari yang ditunggu Faiza datang, sidang skripsi. Setelah siap dia bergegas menuju halte bis. Langkahnya aneh, tampak kesulitan mengayun kaki seperti terjerembab diantara kibaran rok yang dia kenakan. Rok hitam yang dijahit khusus untuk Ospek saat pertama masuk kuliah, rok yang sejak lama hanya ditumpuk saja dilemari itu kembali dia pakai. Karena syarat mengikuti sidang skripsi harus memakai rok, dengan terpaksa dia lakukan meski efeknya susah payah dia berjalan. Sepanjang perjalanan didalam bis dia mengapit roknya kuat khawatir berkibar-kibar. Sempat panik saat hendak turun dari bis, harus pelan karena jangkauan langkah terbatas sisi rok. Ada rasa nyaman saat tak banyak mata lawan jenis menatapnya. Entah karena perubahan penampilannya atau kenapa dia kurang paham. Tapi jujur dia suka itu.

“Alhamdulillah, sampai juga fyuuh...”, lirih ucap Faiza lega. Kikuk dia melangkah memasuki kampus. Sesampainya didepan ruang sidang, sudah banyak teman seangkatan berkerumun. Mereka tertawa geli melihat penampilan Faiza yang memakai rok. “wah, si tomboy pakai rok nih?!”, sapa salma meledek. “pinjem rok siapa kamu zaa?” tanya agus sambil terkekeh. “aneh banget kamu pakai rok zaa, hahahaa”, kata dania. “iya, lucu lihat kamu jalan pakai rok zaa, hahaa”, ucap sarah menimpali. Hari itu, berderet komentar diiringi tawa terbahak-bahak dia terima. Dia hanya bisa menjawab kesal : “asyeeem, terserah kalian dah mau ngomong apa, aku mau fokus sidang! Minggir-minggir, aku mau duduk!”. Sejuta bimbang, marah, malu, tegang, juga harapan mengaduk-aduk rasa hatinya.

Sabtu, 22 Desember 2003, momen menegangkan sekaligus mengharukan bagi Faiza. Akhirnya gelar Sarjana disandangnya. Kembali dia harus berpenampilan feminin saat acara wisuda bahkan masih ditambah make up. Faiza kesal sekaligus bahagia. Meski sejak hari sidang skripsi bulan lalu dia memutuskan untuk keseharian memakai rok, tapi masih ada ganjalan dalam hatinya. Iya, dia belum sempurna menutup aurot secara syar’i. Tak mudah bagi Faiza yang tomboy, dikelilingi teman yang dominan laki-laki. Dia bimbang, jika akhirnya dalam keseharian harus bergamis dan berkerudung lebar. Masa iya masih keluyuran bareng teman laki-laki? Bagaimana dengan jodoh? Apa tidak semakin sulit menemukannya? Deretan pertanyaan muncul menghiasi rongga otaknya.

Sabtu pagi, 17 Mei 2005, Faiza sekali lagi mengikuti wisuda. Satu tahun kuliah profesi keguruan dia jalani. Mendapat kesempatan menjadi 10 besar mahasiswa yang lulus dengan IPK Cum Laude mengharuskannya tampil didepan para wisudawan untuk menerima hadiah. Mantab langkahnya dibalik anggun busana yang menjulur dari leher hingga kebawah mata kaki dibalut kerudung lebar senyumnya mengembang. Dia tak canggung lagi berpenampilan seperti gadis yang ia lihat di perpustakaan dan bis kala itu. Dia tak gusar saat ditawari daster atau gamis di Malioboro. Dia tak sedih ketika para sahabatnya yang laki-laki menjaga jarak dengannya. Dia sudah jarang berlama-lama mendengarkan suara Jon Bon Jovi idolanya. Dia merasa nyaman berada didekat Kamila dengan busana kedodorannya. Iya, Faiza sudah menetapkan hatinya untuk berbusana syar’i setelah kepindahannya ke Asrama dan bertemu dengan banyak teman-teman yang sudah hijrah terlebih dahulu. Faiza yang awalnya terpaksa memakai gamis karena pernah berucap : “jika aku sudah punya 6 potong gamis, aku mau pakai gamis dalam keseharian!”. Tekad dan Nadzarnya Dimudahkan oleh Allah swt. Tak lama setelah itu, dia banyak mendapat hadiah dari ibu juga teman-temannya berupa baju gamis. Tak ada alasan lagi, 6 potong gamis bahkan lebih ditangan, Faiza harus tunaikan semua janjinya. Dari keterpaksaan menjadikannya terbiasa, dan dari kebiasaan akhirnya dia bisa menaklukan hal yang paling dia hindari. Meski prosesnya lama dan penuh daya juang, Faiza tak henti bersyukur berkesempatan menerima hidayah yang datang padanya. Tak ada jalan hijrah yang mudah. Tetapi ketika lelah semata lillah, insyaallah akan berakhir indah.

Malang, 14 Agustus 2018

#AniAzizah #TugasCerpen #WCWH
#HijrahSiTomboy

Postingan populer dari blog ini

Semangat, Pantang Menyerah!

Dream Big!

Yakin, Jalan Menuju Mimpi Itu Dekat