Semangat, Pantang Menyerah!
Semangat, Pantang Menyerah!
Oleh : Ani Azizah Hady
Menyerah atau putus asa memang hal yang sangat manusiawi. Rasa itu bisa kapan saja menghinggapi hati. Terutama saat masalah datang silih berganti. Lelah jiwa raga menguasai diri, lalu muncullah rasa putus asa.
Hal yang harus diingat ketika putus asa muncul adalah bahwa rasa itu merupakan wilayah kuasa diri kita sendiri. Artinya, kitalah yang mampu mengontrol rasa itu. Akan mengikuti gejolak hati untuk berhenti atau tetap semangat melanjutkan langkah. Jadi semua tergantung diri kita sendiri. Terus berputus asa atau mencoba mencari alternatif cara lain agar sampai ke tujuan.
Sebagai seorang muslim tentu kuncinya hanyalah tawakal dan berdoa seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Semakin kuat ketakwaan kepada Allah akan berimbas pada pandangan diri terhadap masalah. Serumit apapun rintangan di depan langkah pasti ada rasa yakin bahwa Allah akan menolong dan membukakan jalan keluar terbaik.
Sesungguhnya, sudah sangat jelas bahwa seorang muslim dilarang berputus asa. Selain hal tersebut akan mendatangkan madhorot baginya jika terus menerus dibiarkan bersemayam dalam hati, juga dalam Alqur'an surat Yusuf, ayat 87, diterangkan :
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus dari rahmat Allah melainkan orang orang yang kufur”. (QS. Yusuf : 87).
Selama kita masih mengaku sebagai muslim yang beriman kepada Allah dan Rasulullah tentu tidak pantas mempunyai rasa putus asa dalam hati. Terlebih putus asa terhadap rahmat Allah. Jangan sampai rasa tersebut membekukan hati hingga menyesatkan pikiran dan langkah kita.
Ada 3 bahaya yang disebabkan oleh rasa putus asa, yaitu :
Melupakan kebaikan Allah swt. Rasa putus asa kerapkali diiringi kekecewaan yang sangat mendalam. Jika terus dibiarkan, bisa jadi akan menimbulkan rasa kebencian atas takdir hidup yang menimpa diri. Menyalahkan Sang Pencipta bahkan bisa juga menumbuhkan rasa enggan lagi beriman kepadaNya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Alquran surat Ar Ruum, ayat 36, yang artinya : "Dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. Dan apabila mereka ditimpa suatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa”. (Q.S. Ar Ruum: 36).
Merugi baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an surat al Hajj ayat 11, yang artinya: “Dan diantara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi, maka jika ia memperoleh kebaikan, tetaplah ia dalam keadaan itu dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”. (Q.S. Al Hajj: 11). Jelas sekali disebutkan dalam ayat tersebut kerugian bagi orang yang menyerah karena musibah. Tidak hanya akan mengalami kerugian sebatas di dunia saja, namun juga akan merugi di akhirat kelak.
Derajatnya sama dengan orang kafir. Menurut saya ini bahaya yang paling berbahaya. Hanya karena terjerumus dalam rasa putus asa bisa menyebabkan keislaman luntur. Sungguh amat merugi, sia-sia belaka semua ibadah yang telah lalu. Hal ini dijelaskan dalam Al Qur’an surat Yusuf, ayat 87, yang artinya: “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya; dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (Q.S. Yusuf: 87).
Dari ketiga bahaya yang dijelaskan di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwa sebagai muslim tidak selayaknya berputus asa terlebih terhadap rahmat Allah. Jangan sampai hanya karena rasa putus asa kita menjadi sebanding dengan orang kafir. Yang lebih berat lagi adalah kita akan mendapat kerugian di dunia dan akhirat. Jadi sudah seharusnya kita untuk tetap bersemangat dan pantang menyerah atas segala yang menimpa kita.
Sedikit bercerita tentang pantang menyerah. Dulu sekitar tahun 2006, saya pernah mencoba peruntungan untuk menjadi PNS di Departemen Luar Negeri. Saat itu, pikiran saya dipenuhi rasa ingin membahagiakan orang tua. Menjadikan mereka bangga atas pencapaian yang saya usahakan. Tes demi tes CPNS saya ikuti hampir setiap tahun sejak lulus kuliah di tahun 2003. Sampailah pada tahun 2006, Departemen Luar Negeri (DepLu) membuka lowongan CPNS yang pas dengan background pendidikan saya, Sastra Inggris.
Semua persyaratan terpenuhi, saya dinyatakan lolos pemberkasan. Bahagia, setidaknya satu peluang untuk menjadi PNS di DepLu terbuka bagi saya. Jujur, tidak terbayang dalam benak saya untuk pergi sendiri menuju tempat tes di Jakarta yang seumur hidup belum pernah kaki saya berpijak di atas tanahnya. Akhirnya hanya mampu tawakal dan berdoa pada Allah agar dimudahkan jalan menuju Jakarta.
Tidak disangka, sepekan sebelum pengambilan nomor ujian, seorang sahabat memberi kabar akan berangkat ke Medan dan transit di Jakarta. Bersyukur akhirnya ada yang menemani dalam perjalanan menuju Jakarta.
Hari di mana ujian dilaksanakan benar-benar menegangkan. Saya harus menaklukan jalanan Ibukota sendiri. Setelah mencatat rute kendaraan umum yang ditunjukan saudara saya. Bermodal tekad yang kuat, pagi itu saya berangkat. Deg-degan luar biasa yang saya rasakan. Pertama kali dalam hidup, saya harus berjibaku dengan waktu di tempat yang asing, kota metropolitan yang terkenal penuh dengan aneka ragam kejahatan.
Mulai menunggu bis jurusan Senen, hampir 1 jam saya berdiri di tepi jalan. Disapa tukang gorengan pun rasanya was-was. Nyaris putus asa, karena jarak yang harus ditempuh cukup jauh, namun hingga matahari kian meninggi, bis itu belum juga muncul. Saya berdoa pasrah, meski sudah sejauh itu melangkah, apapun takdirnya saya akan ikhlas. Napas panjang mengiringi, saat saya hendak berbalik, mencoba melupakan mimpi menjadi pagawai DepLu. Tiba-tiba bapak tukang gorengan berseru,
"Bis-nya dateng, Neng!"
Sesampainya di terminal Senen, saya bingung lagi. Waktu sudah semakin dekat dengan jam ujian. Akhirnya saya beranikan diri naik bajaj. Saya berusaha keras menyembunyikan rasa takut dan khawatir di wajah. Hanya mampu pasrah, ke mana bajaj melaju, saya benar-benar tidak tahu arah. Senen menuju Kemayoran terasa sangat lama.
Alhamdulillah, masih dilindungi oleh Allah. Dipertemukan dengan orang baik. Hingga usai proses ujian, saya berhasil pulang dengan selamat ke rumah saudara di daerah Ciledug tepat jam 9 malam. Meski akhirnya saya tetap tidak berhasil menjadi pagawai DepLu, namun setidaknya saya sudah berusaha. Terus melakukan yang terbaik dalam ikhtiar.
Pengalaman dalam prosesnya itu yang terpenting. Apa jadinya jika sebelum berangkat ke Jakarta saja saya sudah menyerah? Tentu pengalaman menapaki jalanan Ibukota sendiri dan bersaing dengan ribuan peserta ujian tidak mungkin terekam dalam benak. Maka, sesulit apapun rintangan, janganlah menyerah, semangat!
Luar biasa, ya Mbak. Semangat pantang menyerah memang hrs berkobar di setiap saat apalagi di saat seperti itu. Dengan niat yg baik dan semangat, Allah akan berikan jalan terbaik.
BalasHapusNa'uzubillahiminzalik. Semoga dijauhkan dari perasaan ini. Walaupun terkadang juga ada rasa lelah, tapi kalau mengingat banyak nikmat yang sudah diberikan, jadi malu untuk mengeluh
BalasHapusSiip, saya setuju sekali semangatnya. Tapi kadangkala hal yg menyebabkan org putus asa karna banyaknya trauma pada diri sehingga perlu pertolongan ahlinya. Jadi kadang gak cukup sekadar diingatkan, perlu ditolong.
BalasHapus